Kuningan News - Purwawinangun merupakan Kelurahan di Kecamatan
Kuningan Jawa Barat. Kelurahan Purwawinangun wilayahnya agak berbukit dan juga
berupa dataran. Profesi masyarakat terbilang beragam, dari mulai PNS, Pedagang,
Wiraswasta dan sebagainya. Penduduknya berjumlah cukup banyak yaitu 12.922
orang. Akses transportasinya pun tidak sulit karena terletak di pusat kota
Kuningan, hampir semua angkot melewati daerah ini.
Purwawinangun memiliki arti awal dibangun.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Kuningan menganut Agama Hindu dan
merupakan daerah otonom yang masuk Wilayah Kerajaan Sunda yang dikenal dengan
nama Padjajaran. Seluruh Jawa Barat termasuk Cirebon pada tahun 1.389 M masuk
bagian dari Padjajaran dengan pelabuhannya saat itu meliputi Cirebon,
Indramayu, Karawang, Sunda Kalapa, dan Banten. Waktu Cirebon dibawah pimpinan
Ki Gedong Jumjanjati anaknya Ki Gedong Kasmaya, datanglah pelaut Cina yang
dipimpin oleh Laksamana Te Ho (Cheng Ho) dan sebagai rasa terima kasihnya atas
sambutan rakyat Cirebon, maka dibuatlah Mercusuar di Pelabuhan Cirebon itu.
Setelah itu Pelabuhan Cirebon kedatangan
seorang ulama Islam yang bernama Syekh Idhofi (Syek Datuk Kahfi) yang dikenal
dengan julukan Syekh Nurjati. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren di kaki Bukit
Sembung dan menetap di Pesambangan (Desa Jatimerta). Salah satu murid ulama itu
ada yang bernama Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan mendirikan sebuah kota
bernama Caruban yang kemudian dikenal dengan nama Cirebon.
Dikemudian hari pesantren ini kedatangan
Syekh Maulana Akbar yang menemukan perjalannya ke Pesambungan. Dalam
perjalanannya mengembangkan Islam, Syekh Maulana Akbar ini pernah singgah
sebentar di daerah Buni Haji Luragung. Kemudian melanjutkannya sampai ke daerah
Kuningan yang pada waktu itu dikenal dengan nama Kejene (artinya kuning),
penduduknya menganut Agama Hindu (Agama Sanghiang) dengan pusat pemerintahanya
di daerah Sidapurna yang artinya sempurna.
Syekh Maulana Akbar akhirnya menetap
disana dan mendirikan pesantren di Sidapurna serta menikah dengan seorang putri
pejabat pemerintahan Kejene dan mempunyai seorang putra bernama Syekh Maulana
Arifin atau Syekh Arif. Karena pesatnya kemajuan pesantren tersebut, tidak
cukup menampung para pendatang, maka dibuatlah pemukiman baru dengan dasar
Islam yang diberi nama Purwawinangun (artinya mula-mula dibangun).
Syekh Maulana Akbar ini meninggal dan
dimakamkan di Astana Gede. Lalu Syekh Arif ini meneruskan usaha yang telah
dirintis oleh ayahnya dengan memajukan bidang peternakan. Terutama peternakan
kuda khas di Kejene (Kuda Kejene yang kemudian terkenal dengan sebutan Kuda
Kuningan).
Oleh sebab itu, diduga pusat pemerintahan
Kerajaan Kuningan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam berada di sekitar
dari lokasi makam-makam tokoh leluhur Kuningan, yaitu Winduherang, Sidapurna,
atau Purwawinangun yang berada di satu naungan Wilayah Kota Kuningan sekarang.
Bahkan kalau dilihat letak Kantor Bupati Kuningan sekarang berdekatan dengan
Astana Gede Kelurahan Kuningan, sebenarnya disitulah memang “Puseur Dayeuh”
Kuningan di zaman dan berkembangnya Islam.
Berpindahnya bangunan pusat pemerintahan
lazim dilakukan bilamana berkas bangunan lama tertimpa musibah. Untuk
menghindari nasib naas atau kejadian yang tidak diinginkan lagi, ternyata Kantor
Bupati sepertinya tertarik gaya magnetik. Yaitu back to basic ke tempat
yang tidak jauh ketika Sang Adipati Kuningan memerintah, yaitu Winduherang,
Sidapurna, dan Purwawinangun suatu lokasi bersejarah buat warga Kabupaten
Kuningan.