Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Kuningan News - Survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik Lebaran 2025 turun 24% dibandingkan tahun sebelumnya, dari 193,6 juta menjadi sekitar 147,1 juta orang.
Penurunan ini tidak hanya mencerminkan perubahan pola mobilitas masyarakat, tetapi juga menjadi sinyal pelemahan dari dinamika ekonomi nasional.
Dari peredaran uang Lebaran, disparitas regional, hingga dampak makroekonomi yang berkelindan dengan likuiditas perbankan, fenomena ini perlu dibaca secara jeli.
Peredaran Uang Lebaran: Dari Konsumsi ke Kontraksi
Tradisi mudik Lebaran selama ini menjadi motor penggerak siklus perputaran uang di masyarakat.
Sektor transportasi, ritel, kuliner, dan industri kecil menengah (UMKM) menjadi penerima manfaat utama.
Dengan penurunan 24% pemudik, aliran uang yang biasanya mengalir ke pembelian tiket, konsumsi di jalan, belanja kebutuhan Lebaran, dan THR (Tunjangan Hari Raya) diprediksi menyusut signifikan.
Berdasarkan pola tahun 2024, setiap pemudik diperkirakan mengeluarkan rata-rata Rp2–5 juta selama mudik.
Jika 46,5 juta orang tidak mudik, potensi kontraksi peredaran uang bisa mencapai Rp93–232 triliun.
Sektor informal seperti pedagang kaki lima di terminal atau pasar tradisional di daerah tujuan mudik akan merasakan dampak terbesar.
Lebih dari itu, efek multiplier dari belanja Lebaran—seperti peningkatan pendapatan pekerja logistik atau peningkatan permintaan bahan baku UMKM—juga terancam menipis.
Jawa vs Luar Jawa: Ketimpangan Peredaran Uang yang Semakin Lebar
Secara geografis, daerah dengan perputaran uang tertinggi selama Lebaran umumnya berada di wilayah yang menjadi tujuan mudik, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Daerah ini tidak hanya menerima pemudik dari Jakarta dan kota besar lain, tetapi juga menjadi pusat distribusi belanja kebutuhan Lebaran.
Namun, penurunan pemudik akan berdampak lebih besar pada daerah-daerah ini.
Di luar Jawa, Sumatera (terutama Lampung dan Sumatera Utara) serta Sulawesi Selatan juga termasuk wilayah dengan sirkulasi uang tinggi selama Lebaran.
Namun, daerah dengan basis ekonomi lokal kuat—seperti Bali atau Yogyakarta—mungkin lebih resilien karena aktivitas pariwisata atau konsumsi domestik yang tidak sepenuhnya bergantung pada pemudik.
Sebaliknya, daerah yang bergantung pada remiten THR dari perantau, seperti Nusa Tenggara Timur atau sebagian Kalimantan, berisiko mengalami penurunan daya beli masyarakat.
Deflasi, Likuiditas, dan Ancaman Resesi
Penurunan peredaran uang Lebaran tidak bisa dipisahkan dari konteks makroekonomi Indonesia yang sedang menghadapi tekanan.
Deflasi dua bulan beruntun awal tahun 2025 (data BPS, Januari-Februari 2025) menjadi indikator melemahnya permintaan domestik.
Masyarakat cenderung menunda belanja karena ekspektasi harga lebih rendah, sementara ancaman PHK di sektor manufaktur dan jasa memperparah kehati-hatian konsumsi.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) dan perbankan yang menurunkan ketersediaan uang kas tunai untuk Lebaran 2025 patut dicermati.
Meski alasan resmi adalah peningkatan transaksi digital (e-wallet, QRIS), langkah ini juga bisa mencerminkan antisipasi lemahnya permintaan uang fisik akibat penurunan aktivitas mudik.
Likuiditas perbankan yang ketat mungkin merupakan respons dari risiko kredit macet atau perlambatan pertumbuhan sektor riil.
Di sisi lain, penurunan kebutuhan uang tunai selama Lebaran tidak sepenuhnya menggambarkan transformasi digital.
Survei Bank Indonesia (2024) menunjukkan 65% masyarakat masih lebih memilih uang fisik untuk THR dan belanja Lebaran.
Oleh karena itu, penurunan persediaan kas tunai lebih mungkin disebabkan oleh proyeksi permintaan yang rendah—bukan semata-mata pergeseran ke digital.
Ini menguatkan tesis bahwa pelemahan ekonomi sedang terjadi, di mana daya beli masyarakat tertekan oleh biaya hidup yang naik (inflasi harga pangan dan transportasi) serta ketidakpastian lapangan kerja.
Mudik Makin Mahal dan PHK: Akar Masalah di Balik Pengetatan Konsumsi
Tulisan kami sebelumnya menyoroti tiga faktor utama penurunan pemudik: biaya mudik yang membengkak, ancaman PHK, dan beban konsumsi harian.
Kenaikan harga BBM, tarif transportasi, serta inflasi pangan telah membuat biaya mudik meningkat 15–20% dibanding 2024.
Bagi pekerja dengan upah pas-pasan, mudik menjadi kemewahan yang harus dikorbankan.
Ancaman PHK, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan elektronik, juga mengurangi kemampuan finansial pekerja untuk pulang kampung.
Data Kemnaker menyebutkan, awal tahun 2025, lebih dari 50.000 pekerja terdampak pemutusan hubungan kerja. Ketidakstabilan ini membuat masyarakat memprioritaskan tabungan darurat ketimbang belanja Lebaran.
Digitalisasi vs Realitas Ekonomi: Antara Solusi dan Ilusi
Pemerintah dan BI kerap menjadikan digitalisasi sebagai narasi utama penurunan penggunaan uang tunai.
Namun, klaim ini perlu diuji dengan realitas kesenjangan akses dan budaya finansial.
Di daerah pedesaan, infrastruktur digital masih terbatas, dan preferensi untuk bertransaksi tunai tetap tinggi.
Selain itu, digitalisasi tidak serta-merta mengompensasi penurunan nilai transaksi jika daya beli masyarakat memang melemah.
Penurunan persediaan uang kas oleh perbankan justru bisa memperburuk likuiditas di daerah, terutama bagi UMKM yang mengandalkan transaksi tunai.
Jika bank mengurangi pasokan uang fisik, risiko gangguan pada rantai pasok dan perdagangan kecil-kecilan di pasar tradisional semakin besar.
Membaca Fenomena Lebaran 2025 dengan Bijak
Penurunan jumlah pemudik Lebaran 2025 bukan sekadar perubahan pola konsumsi, melainkan cerminan dari tekanan struktural ekonomi Indonesia.
Kontraksi peredaran uang, deflasi, dan kebijakan likuiditas perbankan saling terkait dalam lingkaran yang memperlambat pertumbuhan.
Pemerintah perlu merespons dengan stimulus fiskal yang tepat sasaran—seperti subsidi transportasi mudik, insentif UMKM, dan perlindungan tenaga kerja—untuk mencegah spiral deflasi berkepanjangan.
Di saat yang sama, transisi digital harus dibarengi dengan pemerataan infrastruktur dan literasi keuangan agar tidak menjadi ilusi di tengah pelemahan ekonomi yang nyata.***